BAB III
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan
Data
Identitas
Klien, Keluhan Utama, pada umumnya
keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: Provoking Incident, Quality of
Pain, Region, Severity
(Scale) of Pain, dan Time.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D,
1995).
Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi
dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius,
Donna D,1995).
2. Pola Nutrisi
dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 1999).
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image). (Ignatavicius, Donna D, 2000).
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995).
9. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
11. Pola Tata
Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien. (Ignatavicius, Donna
D, 2000).
2.
Pemeriksaan
Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1. Gambaran Umum
Perlu
menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
Kesakitan, keadaan penyakit:
akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
Tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari
kepala sampai kelamin
Sistem Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
Kepala
Tidak ada
gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
Leher
Tidak ada
gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung
Tidak ada
deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan Faring
Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Thoraks
Tak ada
pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru
v Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
v Palpasi :
Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama.
v Perkusi :
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
v Auskultasi :
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
Jantung
v Inspeksi :
Tidak tampak iktus jantung.
v Palpasi :
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
v Auskultasi :
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
Abdomen
v Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
v Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
v Perkusi : Suara thympani, ada
pantulan gelombang cairan.
v Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada
hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
Keadaan Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat
antara lain:
Cictriks (jaringan parut baik
yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
Cape au lait spot (birth mark).
Fistulae
Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hyperpigmentasi.
Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
Posisi jalan (gait, waktu masuk
ke kamar periksa)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan
palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
Perubahan suhu disekitar trauma
(hangat) dan kelembaban kulit.
Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
Move (pergeraka terutama lingkup
gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan
feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
· Bayangan
jaringan lunak.
· Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
· Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
·
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu
tehnik khususnya seperti:
Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
Computed Tomografi-Scanning:
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST),
Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat
kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan
ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan
ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua
kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk
menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua
data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah
keperawatan yang timbul.
3.2 Diagnosa
Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun
potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan
mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung
jawabnya.
1. Nyeri akut
b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
3. Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
4. Shock hipovolemik b/d putusnya vena/arteri pada diskontinuitas tulang
5. ansietas b/d kurang pengetahuan
3.3 Intervensi Keperawatan dan Evaluasi
No
|
Dx.Keperawatan
&
Kriteria
Hasil
|
Rencana
Tindakan
|
Rasional
|
1.
2.
3.
|
Nyeri akut
Risiko cedera
Gangguan mobilitas fisik
Syok hipovolemik
Ansietas
|
1.
Tinggikan posisi
ekstremitas yang
mengalami fraktur
2.
Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif sesuai
keadaan klien
3.
Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
4.
Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan
napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
5.
Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam
pertama) sesuai keperluan.
6.
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
7.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan
non verval, perubahan tanda-tanda vital)
1.
Pertahankan
tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.
2.
Rawat luka setiap hari atau setiap kali bila pembalut
basah atau kotor.
3.
Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal
atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.
4.
Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.
5.
Kolaborasi pemasangan skeletal traksi.
6.
Kolaborasi pemberian obat antibiotika.
7.
Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera jaringan
(peradangan lokal/sistemik, seperti peningkatan nyeri, edema, demam)
1.
Pertahankan pelaksanaan akti-vitas rekreasi
terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/ keluarga) sesuai keadaan klien.
Bantu latihan rentang gerak pasif
aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
Bantu dan dorong perawatan diri
(kebersihan/makan/eliminasi) se- suai keadaan klien.
Ubah posisi secara periodik sesuai
keadaan klien.
Dorong/pertahankan asupan ca-iran
2000-3000 ml/hari.
Berikan diet TKTP.
Kolaborasi
pelaksanaan fisio-terapi sesuai indikasi.
8.
Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program
imobilisasi.
pertahankan
tirah baring dalam posisi yang di programkan
Tinggikan
bagian yang terkena fraktur
Ubah posisi
secara periodik
Kolaborasi
fisioterapi
Observasi tingkat kecemasan
keluarga
|
1.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/
nyeri.
2.
Mempertahankan kekuat-an otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
3.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.
4.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
5.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
6.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
7.
Menilai perkembangan masalah klien.
Meminimalkan rangsang nyeri akibat
gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di sekitarnya.
2.
Mempercepat penyembuh-an luka dan mencegah infeksi
lokal/sistemik.
3.
Mencegah
perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
4.
Bila fase
edema telah lewat, kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi.
5.
Skeletal
traksi menghasil-kan efek fiksasi yang lebih stabil sehingga dapat
meminimalkan resiko perluasan cedera.
6.
Antibiotik bersifat
bakte-riosida/baktiostatika untuk membunuh / menghambat perkembangan kuman.
7.
Menilai perkembangan masalah klien.
Memfokuskan
perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan
isolasi sosial.
2. Meningkatkan
sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan
ge-rak sendi, mencegah kon-traktur/atrofi dan mence-gah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Meningkatkan
kemandiri-an klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
4. Menurunkan
insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
5. Mempertahankan
hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
6. Kalori dan
protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan
fungsi fisiologis tubuh.
7.
Kerjasama
dengan fisio-terapis perlu untuk me-nyusun program aktivitas fisik secara
individual.
8. Menilai
perkembangan masalah klien.
Membantu rentang gerak agar
dapat bergerak dengan baik
Membantu pengaliran darah
dengan sempurna
Untuk mengembalikan rentang
gerak secara perlahan-lahan
Membantu dalam menentukan obat
yang di gunakan
|