Monday, November 25, 2013

Makalah Farmakokinetik dan Farmakodinamik


 


MAKALAH
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah  IDK III


Di susun oleh
           
                                                         Saepul Bahri               (SA 12043)
                                                         Sani Bayu                    (SA 12044)              
                                                         Servant B                    (SA 12046)
                                                         Serlly O.P                    (SA 12045)
                                                        Tengku Fike                 (SA 12048)










SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
BANDUNG
2013



KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah yang kami buat ini dapat terselesaikan. Dengan berbagai sumber referensi yang di dapat akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Farmakokinetik dan Farmakodinamik. Makalah ini di buat agar dapat memperluas wawasan pembaca terutama di kalangan keperawatan.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami :
1.  Ibu Sri Hesty Manan S.Kep.,Ners., M.Kes AIFO selaku koordinator mata kuliah IDK III
2.      Ibu Nur Intan HK. S.Kep Ners.,M.Kep selaku dosen membimbing  dalam proses pembuatan makalah ini.
3.      Ibu Monika Ginting S.Kep.,Ners M.Kep selaku dosen membimbing  dalam proses pembuatan makalah ini.

Tak lupa pula kami mengucapkan terimakasih pada teman-teman yang telah bekerjasama dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat masih banyak kesalahan dan kekurangan karena faktor batasan pengetahuan kami, maka kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan makalah ini.








Bandung, November 2013

                                                                                                  Penyusun

i






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................      1
    1.1          Latar Belakang ......................................................................................... 1
    1.2          Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
1.2.1 Tujuan Umum .............................................................................     1
1.2.2 Tujuan Khusus .............................................................................    1
    1.3          Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHSAN ....................................................................................... 3
2.1      Farmakokinetik   ..................................................................................     3
2.1.1        Absorpsi dan Biovailabilitas................................................................. 5
2.1.2        Distribusi .........................................................................................     9
2.1.3        Biotransformasi................................................................................    10
2.1.4        Eksresi .............................................................................................    11
2.2         Farmakodinamik  .................................................................................    12
2.2.1 Mekanisme Kerja Obat ...............................................................    12
2.2.2 Reseptor Obat ............................................................................     13
2.2.3 Transmisi Sinyal Biologis ..........................................................     14
2.2.4 Interaksi Obat – Reseptor ..........................................................     16
2.2.5 Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor ..............................     18
2.2.6 Terminologi .................................................................................     19
BAB III PENUTUP ........................................................................................     21
3.1      Kesimpulan............................................................................................     21
3.2       Saran.....................................................................................................     21
DAFTAR PUSTAKA
 




                                                                                                                                                               ii



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)
Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu farmakologi yang memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat, farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat. farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia. farmakoterapi cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, toksikologi ialah ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia, termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, pestisida dan lain-lain serta farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya dan farmakodinamik yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai oran tubuh serta mekanisme kerjanya. Pada penulisan makalah ini akan di bahas tentang aspek farmakologi yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.

1.2  Tujuan Penulisan
1.2.1   Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui apa itu farmakokinetik dan farmakodinamik dalam cabang farmakologi.

1.2.2   Tujuan Khusus
1.         Untuk mengetahui nasib obat di dalam tubuh melalui absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresinya
2.         Untuk mengetahui efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanismenya

1.3    Manfaat Penulisan
1.    Sebagai khazanah ilmu pengetahuan
2.    Meningkatkan motivasi belajar bagi mahasiswa dalam lingkup STIK Immanuel
3.    Menambah pola berfikir kritis dan instruktif bagi mahasiswa dalam lingklup STIK   Immanuel







BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi.  Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat
Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi  membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady state) di capai, kadar obat bentu non-ion di kedua sisi membran akan sama. Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atu basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi, derajat ionisasi ini tergantung dari pka obat dan PH larutan. Untuk obat asam, pka rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pka tinggi yang relatif kuat. Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap, kadar obat bentuk non-ion saja yang sama di kedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan ph di kedua sisi membran.
Membran sel merupakan membran semipermeabel,artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol, dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion natrium, kalium, kalsium.
Transport obal melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antar sel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekul nya kurang dari 69000 (BM albumen), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absrofsi obat seltelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal. Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikal, misalnya untuk makro molekul seperti protein. Jumlah obat yang di angkut  dengan cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara konpetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula di pengaruhi obat lain.
Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) iyalah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor  pembawa ( carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transport nya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa kedalam sel perifel.



2.1.1 Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sam artinya. Absorpsi yang m,erupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan di nyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sitemik dalam bentuk utuh/ aktif. Ini terjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang di absorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan di metabolisme oleh ezim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini di sebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai biovailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavalibilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat di hindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral ( misalnya lidokain ), sublingual ( misalnya nitrogliserin ), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
1. Bioekuivalensi
Ekuivalensi kimia merupakan kesataraan melalui obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang di sebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekivalensi kimia tetapi tidak berekivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorpsi nya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya di goksin dan difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsi nya, misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan  perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperkihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya di goksin, difenilhidantoin, teofilin.


2. Pemberian Obat Per Oral
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukann karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat meniritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita tidak bisa dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secra difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat di bandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas di bandingka dengan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan klambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna boiasanya tidak mempengaruhi kjumlah obat yang di absorpsi atau yang mencapai sirkyulasi sistemik, kecuali pada tiga hal berikut ini.(1) obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya digoksin,difenilhidantoin, prednison) memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk absorpsinya. (2) sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan pelepasan obat di lingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meninggatkan jumlah yang di serap. (3) pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengutrangi jumlah obat yang di serap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi tidak dapat di capai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkuran.
Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama di usus halus untuk zat-zat makanan: glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat yang strukut kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.

Kecepatan absorpsi obat bentuk padat di tentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja di buat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustainet-release). Obat yang dirusal oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritas lambung sengaja di buat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan salut enterik (enteric coated).
Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun permukaan absorpsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sanga poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke v.kava superior. Pemberian per rektal sering di perlukan pada penderita muntah-muntah, tidak sadar, dan pasca bedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit di bandingkan pemberian per oral karena hanya sekitar 50% obat yang di absorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum dan absorpsi di sana sering tidak lengkap dan tidak teratur.
3. Pemberian Secara Suntikan
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat di berikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah di butuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.
1.      Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat di berikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila di suntikan perlahan-lahan, obat segera di encerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan.

Di samping itu, obat yang di suntikan IV tidak dapat di tarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis tidak boleh di berikan dengancara ini. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respon penderita.
2.      Suntikan subkutan (SK) hanya boleh di gunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi di serap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang di tanamkan di bawah kulit dapat di absorpsin selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
3.      suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat , dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada PH pisiologik misalnya digoksin, fenitoin dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air di serap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk suspensi  akan di absorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk di suntikan secara SK kadang-kadang dapat di berikan secara IM.
4.      Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut. Suntikan intratekal tidak dilakukan pada karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.
4. Pemberian Melalui Paru-Paru
Cara inhalasi ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap misalnya anestetik umum, dan untuk obat lain yang dapat di berikan dalam bentuk aerosal. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran nafas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan lansung pada bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit di kerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

5. Pemberian Topikal
Pemberian topikal pada kulit.tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utih. Jumlah obat yang di serap bergantung pada luas permukaan kulit yang terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Demis permeabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit berkelupas atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak, misalnya inteksida organofosfat, dapat menimbulkan efek toksit akibat absorpsi melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran darah kulit juga akan memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat di tinggkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggunakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk penyakit kulit sebagai salep kulit ialah antibiotik, kortikostoroid, antihistamin, dan fungisid, tetapi beberapa obat sistemik di buat juga sebagai sediaan topikal, misalnya nitrogliserin dan skopolamin.
Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimadsudkan untuk mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrikmal sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi disini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati, maka bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaikoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.
2.1.2 Distribusi
Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah,distribusi obat juga di tentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak.

Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairin ekstrasel. Distribusi  juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
2.1.3 Biotransformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan di katalisis oleh enzim, pada proses ini molekul obat di ubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah di ekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolismenya sangat aktif, lebih aktif atau lebih toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug)justru di aktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalamibiotransformasi lebih lanjut dan atau di ekskresi sehingga kerjanya berakhir.

Reaksi biokimia yang terjadi dapat di bedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, hidrolisis dan reduksi. Rekasi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II, yang di sebut juga fase sintetik, merupakan konyugasi obat vatau metabolik hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Hasil konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolik hasil konyugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat di metabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi kebanyakan obat di metabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat di bedakan berdasarkan letaknya di dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma.di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang di hasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuronoid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Edangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi hidrolisis dan reduksi.
2.1.4 Ekskresi
Obat di keluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar di ekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi dari glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi disana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid,salisilat,konyugat glukurunoid dan asam urat) di sekresi aktif melalui sistem transport untuk asama organik, dan basa organik (neostigmin,kolin, histamin) diekskresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa organik dalam sistem transportnya nasing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion-ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada PH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya berkurang akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang.

 Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini di gunakan untuk mengiobati keracunan obat yang ekskresinya dapat di percepat dengan pembasaan atau pengasaman urin misalnya salisilat, fenobarbital. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu di turunkan atau interval pemberian di perpanjang. Bersihan kreatinin dapat di jadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat di gunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat di gunakan untuk menemukan logam toksik misalnya arsen pada kedokteran forensik.
2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya (setaiwati dkk,1995)  Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
2.2.1  Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.

2.2.2 Reseptor Obat
1.Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga dapat merupakan reseptor  obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lam kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikina ikatan non kovalen yang aafinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.
2.Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh ligand  binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secaraerat dengan protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lahyang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal. Berikut ini akan dibahas berbagai reseptor fisiologik tersebut.
2.2.3 Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis iyalah proses yang menyebabkan suatu substansi extra seluler ( extracellular chemikal ) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar. Contoh transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D.
Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor ) misalnay adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklik-AMP. Yang merupakan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth factor, p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa protein kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino hidrovobik yang menembus membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu membentuk  kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin. Reseptor ini merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan respon terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula.
Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon terhadap aktivitas bermacam-macam reseptor.



2.2.4  Interaksi Obat – Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der waals) dan jarang berupa ikatan kovalen
1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek
Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikat nya, dan intensitasnya efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan michaelis-menten.
Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai kurva dosis-intensistas  efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi kurva log dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk sigmoid.. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC dapat bermacam-macam , tetapi masing-masing berbentuk sigmoid.
Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ), sehingga lebih mudah untuk memperbandingkan beberapa DEC.
1/KD menunjukan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD (= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas intrinsik atau efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks obat-reseptor  untuk menimbulkan aktivitas dan/atau efek farmakologik.
2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat
Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek antihipertensi, misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk masing- masing komponennya. Kurva sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik.
Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh  kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan  afinitas  obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membayangkan bila obatnya mudah menguap atau di serap melalui kulit.
Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh akyivitas intrinsik obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi oleh timbulnya efek samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya.
Slopeatau lereng log  DEC merupakan variabel yang penting karena menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang curam, misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbulkan sedasi/tidur.
     Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal yang berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi di perlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek
.
2.2.5 Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion molekul kecil, atau masuk komponen sel.
1.Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran
Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik. Dengan demikian juga katartik osmotik (MgSO4), gliserol yang mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler
Perubahan sifat asam/asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine, dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam saluran vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik digunakan sebagai antiseptik dan disenfektan, dan kontrasepsi, contohnya, (1) detergen merusak integritas membran lipoprotein;(2) halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak integritas dan kapasitas sibseluler dan protein.
Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya menurun
2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion       
Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat Cu2+ bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite) pada keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yangf terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikelurkan melalui ginjal.


3. Masuk ke dalam Komponen Sel
Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti mokroba  lain.
2.2.6 Terminologi
1. Spesifisitas dan Selektivitas
Suatu obat dikatak spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis reseptor, dan dikatak selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik dengan sendirinya tidak selektif. Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis reseptor; kolinergik, adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini memblok reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus.
Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat ini pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan sebagai obat semprot langsung ke saluran napas.
2. Istilah Lain
Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan dosis tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek yang berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat denervasi atau akibat pemberian kronik suatu bliker reseptor yang merupakan denervasi farmakologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya terhadap insulin. Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis dan sangat jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang siur maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.  Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi.

 3.2 Saran
Pemahaman mahasiswa keperawat terhadap bidang ilmu farmakologi dalam hal ini aspek farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus di tingkatkan dengan proses pembelajaran yang kontinyu selain untuk meningkatkan pemahaman yakni sebagai upaya meningkatkan displin ilmu yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu berfikir kritis terhadap ilmu tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta. Gaya Baru:1995     
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 2. Jakarta. Salemba medika:2002  
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 3. Jakarta. Salemba medika:2002
http://farma – farmakologi. Blogspot.com/2011/11/Pengertian.html.diakses pada tanggal 17 oktober 2013 pukul 14.20 wib


2 comments: